Bahaya Selain Global Warming

Penyebab Global Warming
Selama ini, masyarakat dunia hanya memandang pemanasan global (global warming) sebagai faktor paling genting dalam krisis lingkungan yang melanda kita. Selain dipantik oleh film dokumenter pemenang Oscar besutan Al Gore, Inconvenient Truth (2006), kenyataan terjadinya anomali iklim kian menguatkan santernya bahaya pemanasan global. Apalagi, anomali iklim ini sudah terbukti memorakmorandakan dunia dalam bentuk angin badai, tornado, dan lain sebagainya.



Padahal, ada lagi satu bahaya lingkunagan global yang tak kalah gawatnya. Yaitu, ancaman peredupan global atau global dimming. Definisi fenomena iklim ini adalah peristiwa berkurangnya penyinaran matahari ke Bumi. Tak tanggung-tanggung, laporan pakar iklim Inggris, Stanhill, dalam majalah Science mengingatkan bahwa penyinaran matahari dalam tiga dasawarsa sejatinya telah berkurang lebih dari 22 persen. Alhasil, apabila kita sering melihat kabut kelabu yang menyelimuti bumi di kota-kota dan di daerah perindustrian, itulah dampak kasatmata dari peredupan global.

Mengutip Otto Soemarwoto (Kompas, 21 April 2005), peristiwa peredupan global terjadi karena pencemaran udara oleh zat padat halus dan zat kimia lain yang merugikan kesehatan manusia. Secara proses, awan terbentuk oleh kondensasi uap air pada zat padat halus yang mengapung di udara, seperti debu dan jelaga. Dari kondensasi itu, terbentuk butir-butir air awan. Nah, karena zat pencemar itu bekerja sebagai inti untuk kondensasi air pembentuk awan, maka awan yang tercemar mengandung lebih banyak butir air daripada awan yang tidak tercemar. Akibatnya, awan yang tercemar itu kemudian lebih banyak memantulkan cahaya matahari. Singkat kata, peredupan global mengurangi penyinaran matahari ke bumi. Dampak lainnya yang tak kalah dahsyat adalah terciptanya pendinginan global yang juga ikut mencetuskan anomali iklim.

Jadi, boleh dikata, masyarakat dunia sekarang ini menghadapi dua bilah pedang bahaya yang sama tajamnya.

Pertama, bahaya pemanasan global akibat emisi rumah kaca, terutama karbon dioksida. Sebagaimana dilukiskan Ismed Hadad (Prisma 3, 2011), emisi karbon dioksida membentuk selubung luas hitam di angkasa yang mengalangi panas matahari terlepas ke luar atmosfer dari laut. Akibatnya, panas matahari kembali masuk ke bumi, terutama laut, dan mengakibatkan pemanasan global. Dampak lanjutannya, pemanasan di laut mengakibatkan perputaran arus laut yang besar dan mengakibatkan berbagai bencana alam terkait angin dan iklim.

Kedua, bahaya peredupan global akibat pencemaran zat padat halus dan zat kimia lain yang mengakibatkan pendinginan global. Sepintas lalu, kedua ancaman ini terkesan menciptakan keseimbangan ketika pemanasan suhu global logikanya disejukkan oleh pendinginan global. Hanya saja, masyarakat dunia telah menyadari bahaya zat kimia pencetus peredupan global bagi kesehatan manusia, sehingga mereka cepat mengambil langkah-langkah jitu mengurangi penggunaan zat kimia dan zat padat halus.
Celakanya, hal ini tidak dibarengi dengan penurunan emisi karbon dioksida, terutama oleh negara-negara maju yang bersendikan kapitalisme neoliberal, paham yang mengutamakan pemupukan laba demi laba, tanpa ingin mengendurkan geliat mesin industrinya dan terus mengepulkan asap hitam dari cerobong pabriknya. Terciptalah ketidakseimbangan di mana peredupan global mulai menurun, tapi pemanasan global justru meningkat karena tidak adanya penyeimbang.

Di sisi lain, bukan berarti solusi bagi pemanasan global adalah meningkatkan kembali peredupan global. Sebab, peredupan global terbukti mengandung ancaman yang tak kalah gawatnya bagi kesehatan manusia. Maka dari itu, komunitas global mesti sepakat dulu bahwa peredupan global dan pemanasan global adalah dua fenomena yang sama berbahayanya dan sama pentingnya untuk ditanggulangi secara simultan.

Pertama, umat manusia seyogianya mulai mengerem laju industri berbasiskan kapitalisme neoliberal yang hanya ingin mengeduk keuntungan lewat eksploitasi alam semata tanpa memperhatikan dampaknya pada alam semesta. Dengan kata lain, mengutip Carl Honore dalam bukunya, In Praise of Slow (2005), masyarakat dunia harus mengerem ritme kesibukan hidupnya guna kembali menyatu dengan alam dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Caranya bisa bermacam-macam. Sebagai contoh, masyarakat bisa mulai mengurangi jam kerjanya, bekerja dari rumah, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menurunkan frekuensi menggunakan kendaraan pribadi kala bepergian, dan sebagainya.

Kedua, gerakan mengurangi emisi karbon atau efek rumah kaca harus digiatkan kembali. Misalnya, melalui penggalakan perdagangan karbon (carbon trading). Inilah satu mekanisme pasar yang bertujuan membangun pembangunan bersih (clean development mechanism) lewat pembelian pohon-pohon penyerap karbon di hutan tropis oleh negara pengepul emisi karbon.

Umumnya, negara pemilik hutan tropis adalah negara-negara berkembang, sementara negara haus karbon dioksida adalah negara-negara industri maju. Akan tetapi, mekanisme perdagangan karbon harus dirancang sedemikian rupa supaya terjadi posisi tawar (bargaining position) setara, di antara kedua belah pihak. Tidak boleh ada kejadian negara maju membeli hak untuk melarang penebangan pohon di negara berkembang dengan harga murah. Juga, tidak boleh perdagangan karbon ini mematikan usaha-usaha lokal yang bertumpu pada penggunaan sumber daya alam mentah seperti penebangan pohon-pohon komoditas. Jadi, transaksi karbon harus berlangsung fair dan saling memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Semoga umat manusia bisa terhindar dari ancaman gawat global dimming dan global warming sekaligus mewariskan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya. 

Subscribe to receive free email updates: