Apa itu Global dimming
Fenomena penyusutan radiasi sinar matahari, atau lebih dikenal dengan sebut Global Dimming, telah menjadi perbincangan hangat kalangan ilmuwan dunia dewasa ini, akibat dampaknya yang sangat luas terhadap perubahan iklim global.
Ratusan alat ukur radiometer yang dipasang di benua Antartika (kutub selatan) dan Artika (kutub utara) mencatat penurunan intensitas radiasi matahari yang diterima bumi sebesar 10% dari akhir tahun 1950 sampai dengan awal 1990, atau sekitar 2 – 3% untuk setiap dekade. Bahkan untuk beberapa wilayah Asia, Amerika Serikat dan Eropa, dimana industri berkembang sangat pesat, terjadi penurunan dalam jumlah yang lebih besar, seperti halnya Hongkong: 37%. (The New York Time, 13 Mei, 2004).
Fenomena ini telah menjadi perhatian publik dunia, meskipun pada awalnya tidak ada peneliti yang percaya akan hal tersebut, ketika pertama kali dilaporkan Atsumu Ohmura dari Institut Teknologi Federal Swiss pada tahun 1985 (Science: 15 November 2002, 298, 1410-1411; The Guardian, 18 Desember 2003).
Berbeda dengan isu pemanasan global (global warming) yang telah diketahui penyebabnya, yaitu meningkatnya kandungan karbon dioksida (CO2) di atmosfer sebagai akibat tingginya konsumsi bahan bakar minyak, batubara dan gas alam lainnya yang menahan radiasi matahari dan menyebabkan pemanasan temperatur bumi, maka fenomena global dimming masih dalam tahap awal studi dan belum banyak dipahami para ahli.
Teori yang berkembang menjelaskan sinar matahari dapat membawa jelaga partikel (dalam bentuk aerosol dan sejenisnya) kembali ke angkasa. Polusi yang terjadi di atmosfer menyebabkan peningkatan proses kondensasi pada tetes air (droplet) di udara, menjadi awan tebal yang lebih gelap dan dapat menahan serta mengurangi intensitas transmisi sinar matahari (dimming)mencapai permukaan bumi.
Hasil penelitian melihat pengaruh awan terhadap keseimbangan neraca energi global menunjukkan terjadi peningkatan albedo (perbedaan radiasi matahari yang dipantulkan dan yang diterima bumi) dari 15% menjadi 30%. Kuantitas yang sama dengan energi hilang sebesar 50 W/m2. Awan mengurangi emisi sinar infra merah sebesar 30 W/m2, sehingga pengaruh awan dalam sistem neraca keseimbangan global telah menyebabkan kehilangan energi sebesar 20 W/m2. Bandingkan kuantitas tersebut dengan pengaruh efek rumah kaca (green house effect) yang memicu pemanasan global sebesar 4 W/m2, meskipun diberikan penambahan kandungan CO2 di atmosfer dua kali lebih besar dari kondisi saat ini (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001).
Tidak mengherankan apabila fenomena ini telah menarik perhatian peneliti seluruh dunia, mengingat dampaknya yang sangat luas pada perubahan iklim, daur hidrologi dan bidang pertanian.
Global Dimming di Wilayah Indonesia
Untuk melihat fenomena global dimming di wilayah Indonesia, penulis mengamati perubahan fluk rata-rata radiasi sinar matahari selama tahun 1979 sampai dengan 1993 (14 tahun) dari sensor satelit NOAA. Analisis perubahan penyusutan radiasi sinar matahari dilakukan secara kuantitatif dengan membandingkan perubahan fluk rata-rata radiasi sinar matahari selama kurun waktu 14 tahun tersebut.
Nilai rerata fluk radiasi sinar matahari selama sebulan untuk seluruh wilayah Indonesia pada bulan Januari 1979 dan 1993, masing-masing ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 di bawah ini.
Gambar 1. Fluk rata-rata radiasi sinar matahari di wilayah Indonesia selama bulan Januari 1979. Skala warna dalam unit W/m2 (Sumber data: Climate Diagnostic Center, NOAA).
Gambar 2. Fluk rata-rata radiasi sinar matahari di wilayah Indonesia selama bulan Januari 1993. Skala warna dalam unit W/m2 (Sumber data: Climate Diagnostic Center, NOAA).
Terlihat perbedaan kontras menurunnya intensitas radiasi matahari pada Wilayah Indonesia Tengah yang ditandai dengan perubahan kontur intensitas radiasi 240 W/m2 (1979) berwarna merah muda menjadi 200 W/m2 (1993) berwarna sian.
Besarnya penurunan yang terjadi selama 14 tahun tersebut sekitar 16.6%, jauh lebih besar dari nilai 3% per dekade seperti yang dilaporkan untuk wilayah kutub selatan dan utara. Hal ini menunjukkan polusi udara dalam bentuk aerosol dan partikel sejenis lainnya yang terjadi di wilayah Indonesia sangat signifikan dalam menyumbang penyusutan intensitas radiasi matahari di seluruh dunia.
Peningkatan konsentrasi global dimming di wilayah Indonesia akan membuat langit Indonesia diliputi gelap sepanjang hari pada abad mendatang dan anamoli cuaca lokal yang semakin tidak menentu. Tidak heran apabila ada hujan es di Jakarta pada beberapa waktu yang lalu. Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kamusilmiah.com